14 February 2013

Jadi begini. 

Kapanpun secara tiba-tiba bisa saja isakan tangis itu pecah. Entah karena memang sebelumnya ia sengaja menahan atau tertahan tanpa ia sadari. Terus menjadi orang yang senang dan tersenyum di depan orang lain. Apa yang ada di benaknya sampai air mata itu menetes ia sendiri pun tak tahu. Ada kalanya ia merasa kosong. Kadang pula ia merasa sangat hampa. Bahkan ada saat-saat ia bersyukur diantara isakan tangisnya. Ketika menangis, ia tahu akan tertawa lagi setelah bangun dari tidurnya. Lupa sejenak akan masalah yang ia tidak sadari keberadaanya. Atau membohongi dirinya sendiri bahwa tidak ada yang salah sama sekali dalam hidupnya.

Ia tahu bahwa hidup penuh cita rasa. Tidak bisa hanya manis melulu yang ditelan, bisa-bisa muntah karena mual. Memang manusia butuh rasa asin, asam, dan pahit agar bisa menikmati rasa manis itu lagi. Kadang ia menjadi ragu dan takut kalau sebenarnya rasa manis yang ia rasakan adalah pahit. Masalahnya di sini ia tidak lagi punya cukup tenaga untuk menentukan rasa yang sedang menyelimutinya. Sekalipun orang lain dapat melihat selimut itu, ia sekali lagi bersembunyi dan berharap selimut itu akan digantikan dengan selimut lain dengan sendirinya. Ia pun tahu bahwa orang lain tidak bisa mengganti selimut itu apabila ia bersembunyi dibaliknya, ia tidak membuat orang lain bisa membantunya. Padahal ia ingin sekali. Ia tahu apa yang harus dilakukan berikutnya, tetapi ia enggan keluar dari zona nyaman. Di antara kegamangan itu, ia pun hanya bisa menangis dan tertawa getir. Meskipun ia tahu tangisan itu tidak berguna dan tawa itu akan sirna.

Ya, begitulah.

1 comment:

  1. Menurut gue, orang bisa membantu mengganti selimutnya tetapi ngga bisa maksa yang sembunyi di balik selimutnya untuk bangun dari hal yang membuatnya sembunyi hehe. Kaya yang dibilang para pemikir postmodern "new wine in the old bottle".

    ReplyDelete